Peristiwa 1965, merupakan sejarah penting bangsa Indonesia yang banyak memakan korban jiwa. Banyaknya versi mengenai kebenaran peristiwa ini, membuat kita sebagai generasi penerus dituntut untuk berpikir kritis. Dengan tidak menyibukan diri dengan mempertanyakan lagi “subjek” atau pelaku peristiwa tetapi berusaha mengambil hikmah dan mengkaji pelajaran moral yang terkandung di dalamnya, serta merubah pola pikir rakyat yang cenderung sudah terbentuk oleh orde baru kearah pola pikir demokrasi dan kebebasan HAM, maka rekonsiliasi nasional akan terwujud.
Berbicara mengenai sejarah 1965 memang tidak ada habisnya. Sejarah pahit yang menoreh luka bangsa dan menyisakan trauma mendalam yang tak akan bisa dihilangkan. “Sejarah resmi” yang dikatakan pemerintah saat itu menggambarkan bagaimana para oknum PKI dengan sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan menyiksa dan membunuh para jendral yang dianggap akan membahayakan kedudukan mereka. Memang kami sebagai generasi bangsa yang dilahirkan setelah masa “kegelapan” itu tidak dapat menyaksikan secara langsung bagaimana sebenarnya peristiwa yang terjadi, akan tetapi pelajaran sejarah dan film yang sempat ditayangkan untuk mengenang para pahlawan, yang mereka (Pemerintah Orde Baru) katakan telah gugur akibat kekejaman yang dilakukan oleh para “iblis” yang bernama PKI, membuat pemahaman sejarah generasi selanjutnya mengenai PKI menjadi semakin hitam. Menurut versi “sejarah resmi” ini, PKI adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kejadian pahit sejarah indonesia tahun 1965. Dan G30SPKI diumumkan sebagai nama resmi untuk peristiwa 1965.
Setelah jatuhnya pemerintahan orde baru, fakta lain dimunculkan. Berbagai versi baru sejarah muncul dan monopoli sejarah yang dilakukan pemerintah orde baru mulai runtuh. Seolah mendobrak dan menjungkirbalikan pemahaman sejarah yang dibuat pemerintah orde baru saat itu, dengan semangat reformasi, “pembongkaran ideologi” sejarah 1965 dimulai dari rasa empati terhadap para anggota PKI yang harus menanggung kemarahan rakyat selama puluhan tahun akibat manipulasi sejarah yang dilakukan pemerintah orde baru. “sejarah resmi” yang ditulis selama ini hanya terpaku pada peristiwa pembunuhan dan kudeta 1965 namun hal itu hanya merupakan bagian kecil dari sebuah peristiwa besar. Alur sejarah yang ditampilkan pada masa orde baru yang merupakan hasil permainan politik pemilik kekuasaan tertinggi sebagai simbol dominasi kekuasaan, memberikan dampak sosial yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Setelah itu ratusan ribu simpatisan PKI maupun yang “dianggap” memiliki hubungan dengan PKI yang dianggap terlibat kasus pembunuhan ketujuh jendral besar tanah air, didiskriminasi, bahkan dibunuh secara kejam. Pertanyaannya adalah "Jika tujuh perwira AD yang gugur akibat peristiwa Gestok dinobatkan sebagai pahlawan revolusi, bagaimana dengan ratusan ribu bahkan jutaan nyawa yang dibantai atas nama penumpasan pemberontakan PKI itu?" masuk akal memang. Jika memang benar PKI yang melakukan penembakan terhadap keenam jendral tersebut, seharusnya tidak perlu ratusan ribu nyawa yang menanggung akibatnya, jika hukum saat itu berjalan sebagaimana mestinya, seharusnya cukup hanya dengan mengadili pelaku penembakan saja dan bukan membunuh orang-orang yang tidak berdosa.
Saat ini, masih banyak orang-orang yang tidak bersalah dan dianggap sebagai simpatisan dan anak cucu PKI dikucilkan serta tidak memiliki hak yang sama dengan rakyat Indonesia yang lainnya. Suharto yang sebelumnya dipuja sebagai seorang “pahlawan” berbalik peran menjadi “dalang” dari pertunjukan kejam yang dibuat untuk kepentingan pemerintahannya.
Tentu saja pendapat baru ini ditentang oleh mereka yang berorientasi kepada pemikiran orde baru. Mereka membenarkan argumentasi sejarah yang bersumber dari pemerintah orde baru dan menyatakan narasi sejarah saingannya adalah upaya para simpatisan PKI yang ingin menarik kembali simpati rakyat terhadap PKI sehingga PKI dapat kembali “berkuasa” dan memengaruhi rakyat dengan ideologi komunisnya yang dianggap tidak bertuhan. Tetapi apakah masuk akal jika orang- orang yang didiskriminasi itu dapat secara bebas mengeluarkan aspirasinya membela diri mereka sendiri untuk menarik simpati rakyat sedangkan mereka dalam keadaan “terkucil” dan tidak ada yang mau mendengar mereka? Dan apakah mereka pantas menanggung dosa sejarah yang tidak mereka lakukan?
Dua versi sejarah yang bertentangan membuat rekonsiliasi nasional sulit untuk dilaksanakan. Yang harus kita lakukan sebagai langkah awal adalah merubah pola pikir rakyat yang cenderung orde baru kearah demokrasi dan kebebasan HAM serta kesediaan untuk saling memaafkan dan menghilangkan diskriminasi. Rekonsiliasi nasional tidak akan terwujud jika masih ada saudara kita yang tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara. Kendala yang dihadapi sebenarnya adalah diskriminasi itu diciptakan oleh pertarungan politik memperebutkan kekuasaan. Untuk itu diperlukan adanya kemantapan hukum yang mengatur dan mengawasi pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya agar berfungsi maksimal sebagai penjaga stabilitas nasional yang utama dan mengawasi agar tidak sembarang orang dapat memimpin negara .
Selain daripada itu, menghargai keberagaman serta perbedaan pendapat mengenai sesuatu (dalam kasus sejarah 1965 adalah idiologi politik) dengan tidak menyatakan bahwa perbedaan itu adalah “dosa” yang harus dihapuskan, akan membuat kita lebih menghargai sesama. Mengadakan dialog nasional juga merupakan salah satu upaya untuk menyatukan perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi. Tetapi, jika tidak terdapat titik temu dari perbedaan tersebut, rakyatlah yang memegang keputusan tertinggi sebagai wujud dari eksistensi demokrasi Indonesia dan bukan perwujudan “keabsolutan monarki” seperti yang dilakukan pemerintah orde baru. Kita sebagai generasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi harus berani menegakan dan mengembalikan hak-hak politik, hak-hak publik dan hak sebagai warga negara saudara-saudara kita yang terdiskriminasi karena permainan politik tempo dulu dengan cara menyuarakan aspirasi mereka
Hal sederhana lain yang dapat dilakukan adalah berhenti bersikap saling menyalahkan. Kita semua tahu siapa sebenarnya orang yang berada dibalik layar peristiwa besar penyebab penderitaan bangsa ini, akan tetapi tidak ada gunanya jika kita hanya mengingat kesalahan seseorang tanpa melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Bangsa Indonesia saat ini hanya terpaku kepada “siapa dalang” dari peristiwa yang terjadi dan kurang menghayati fungsi sejarah itu sendiri. Sejarah adalah sebuah peristiwa yang dijadikan sebagai “pelajaran” agar sesuatu yang buruk yang terjadi pada masa itu, tidak terulang lagi di masa mendatang. Maka dari itu, pola pikir yang cenderung ingin menyalahkan adalah hal utama yang harus dirubah.
Meninggalkan cara dan paradigma berpikir masa lalu. Stagnasi upaya penegakan HAM terjadi karena pemerintah, aparat hukum khususnya militer, masih sangat konservatif dan cenderung menggunakan cara dan paradigma berpikir masa lalu. Pemerintah masih beranggapan bahwa upaya penegakkan HAM adalah upaya mengingat kembali “luka sejarah” dan kemudian hanya menutupinya dan tidak melalukan upaya perbaikan.
Penegakan HAM seharusnya bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Mengingat bahwa kita sebagai generasi bangsa berikutnya yang akan memimpin arah bangsa adalah orang-orang yang tidak memiliki keterlibatan dan beban historis secara langsung, dan lebih senstif terhadap masalah penegakan HAM karena banyak mendapat pelajaran dari kegagalan generasi pada masa orde baru. Tetapi sisa-sisa pemikiran dan pola pikir orde baru menjadi faktor penghalang utama dalam terciptanya rekonsiliasi. Untuk itu tugas utama kita adalah meluruskan sejarah agar pola pikir bangsa yang sudah terlanjur “dicekoki” orde baru yang menganggap bahwa PKI dan ideologi komunisnya adalah sesuatu yang negatif, tidak berujung kepada diskriminasi. Kesimpulannya perspektif baru mengenai peristiwa 1965 diperlukan sebagai upaya awal penegakan HAM di Indonesia.
No comments:
Post a Comment